PONTIANAK – Masyarakat adat Dayak Kualan Hilir, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, menyuarakan keprihatinan atas dugaan kriminalisasi dan tekanan yang mereka alami sejak beroperasinya PT Mayawana Persada di wilayah yang mereka klaim sebagai tanah adat.

Masyarakat menyatakan bahwa leluhur Dayak Kualan Hilir telah lama menetap dan mengelola wilayah tersebut jauh sebelum terbentuknya pemerintahan modern maupun konsep konsesi perusahaan. Namun, kawasan yang mereka tempati kini masuk dalam wilayah konsesi PT Mayawana Persada dengan luasan mencapai sekitar 136.000 hektare.

Sejak perusahaan mulai beroperasi, masyarakat adat mengaku menghadapi berbagai persoalan serius, mulai dari dugaan intimidasi, penangkapan terhadap warga yang mempertahankan tanah adat, hingga kerusakan lingkungan.

Warga juga melaporkan adanya pembakaran lumbung padi, penggusuran area pemakaman leluhur, serta rusaknya hutan yang selama ini menjadi sumber penghidupan masyarakat setempat.

Kondisi tersebut, menurut warga, menimbulkan rasa takut dan ketidakamanan di tengah masyarakat adat. Mereka mengaku hidup dalam kekhawatiran akan potensi tindakan hukum maupun konflik yang dapat terjadi sewaktu-waktu.

Atas situasi tersebut, masyarakat adat Dayak Kualan Hilir mendesak pemerintah daerah, khususnya Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat, serta aparat penegak hukum untuk turun tangan dan melakukan penelusuran secara menyeluruh.

Mereka meminta agar negara hadir melindungi hak-hak masyarakat adat sebagaimana dijamin dalam konstitusi, sekaligus menindak tegas pihak-pihak yang terbukti melanggar hukum.

Masyarakat juga mengingatkan bahwa berbagai bencana ekologis yang terjadi di sejumlah wilayah Indonesia menjadi pelajaran penting agar pengelolaan sumber daya alam tidak mengabaikan keberlanjutan lingkungan dan hak masyarakat adat.

Hingga berita ini diturunkan, pihak PT Mayawana Persada belum memberikan keterangan resmi terkait tudingan yang disampaikan masyarakat adat Dayak Kualan Hilir.